Drrrt drrrt drrrt. Handphone Ifa bergetar. Dengan mata yang masih sayup-sayup , Ifa berjalan terkantuk-kantuk menuju meja belajarnya lalu mengambil handphone-nya dan menekan tombol hijau. Yunita kurang kerjaan deh ngapain nelpon gue pagi buta gini hhh baru jam 5 tau, katanya dalam hati.
“Halo…..” kata Ifa sambil mengusap matanya.
“Lo dimana Fa?! Gue udah di halte busway nih sejak hmm sejam yang lalu,” kata Yunita.
Ifa melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10.00 . Ifa panik. Harusnya ia sudah berada di halte. Gara-gara Ifa lupa memasang alarm ia kesiangan. Sial, katanya dalam hati.
“Hmm…sori Ta, gue baru on the way nih, tadi gue nganterin nyokap ke bandara,” kata Ifa, berbohong.
“Cepetan ya, udah pada ngumpul nih. Oh iya, Putra juga ada,” kata Yunita.
“Demi apa Putra juga ikut ke Kota Tua?!” kata Ifa.
“Iya serius. Makanya buruan ke sini,” kata Yunita.
“Siap bosss!” kata Ifa dengan semangat ’45.
“Yeeee giliran ada gebetan semangat banget lo Fa haha,” kata Yunita.
“Pastinyaaa! Kan ada my lope lope hahaha,” kata Ifa lalu menekan tombol merah.
Tumben Putra mau datang, biasanya cuma mau kalo main futsal aja itupun diajaknya sama cowo , pikir Ifa. Ifa bergegas mandi. Hari ini dia diajak oleh Yunita ke Kota Tua dalam rangka HUT alias hari ulang tahun Yunita. Selain Ifa, Yunita juga mengajak teman-teman sekelasnya yaitu X-2 SMA Cesc Jakarta, termasuk Putra. Setelah rapi, ia memasukkan kado untuk Yunita kedalam tasnya lalu pamit kepada mamanya.
“Hati-hati ya sayang, pulang jangan larut malam,” pesan Mama.
“Iya Ma. Ifa berangkat ya Ma. Assalamualaikum,” kata Ifa sembari mencium tangan mamanya.
“Waalaikumsalam,” kata Mama.
***
“Eh Ifa udah dateng, hamper aja kita tinggalin lho,” kata Yunita.
“Sori…lagi ,Ta. Uuuh gue uuh abis lari uuuh sprint tau,” kata Ifa dengan nafas terengah-engah.
“Lha kok bisa?” tanya Yunita.
“Bajaj yang gue naikin tadi mogok, mana jalanan macet, yaudah gue lari aja kesini. Sekilo ada kali tuh kalo dihitung-hitung,” kata Ifa.
“Pantesan lo jadi kucel begini ckck,” kata Yunita.
Ifa melihat sekeliling. Banyak juga yang ikut , pikirnya. Di pojokan halte ada seseorang yang sedari tadi dicarinya, Putra. Putra sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. Entah apa yang sedang diperbincangkan mereka. Sepertinya Putra senang sekali hari ini.
“Teman-teman , ini temen les gue. Namanya Ifa. Dia akan gabung sama kita ke kota tua,” kata Yunita.
“Hai, salam kenal ya,” kata Ifa sambil tersenyum.
Ifa lalu bersalaman dengan lainnya dan memperkenalkan diri masing-masing.
“Ifa” kata Ifa sambil menjulurkan tangan.
“Putra. Temen les gue ya? Haha ngapain lo disini? Bikin suasana suram aja. Gausah sok manis gitu kali,” kata Putra,ketus.
“Siapa juga yang mau kenalan sama cowo nyebelin kayak lo,cih. Maaf gue lagi nggak mood buat adu bacot sama lo ,” kata Ifa.
“Aduuuh kalian berantem mulu sih? Tiap hari di tempat les juga kayak gini. Udah deh, hari ini aja kalian damai dong demi gue, ya ya ya? Mau kan? Putra, minta maaf ke Ifa!” kata Yunita.
Dengan berat hati, Putra menuruti perkataan Yunita.
“Maafin gue ya Fa,” kata Putra dengan senyum yang terlihat dipaksakan.
“Hmm maafin nggak ya? iya deh. Maafin gue juga, ” kata Ifa lalu bergegas meninggalkan Putra.
Ifa dan Putra memang seperti kucing dan tikus, tidak pernah akur sedikitpun. Ada saja yang diributkan, mulai dari pakaian, makanan, posisi tempat duduk mereka di tempat les , dan topik yang sebenarnya tidak penting untuk dipermasalahkan. Yunita sampai hafal aura yang dipancarkan mereka yang seperti banteng dan matador dengan kain merahnya jika mereka berpapasan. Aura yang meluap-luap, aura antara seseorang dengan musuh yang paling dibencinya. Namun, mungkin kalian tidak tahu bahwa di antara aura merah menyala Yunita terdapat molekul berwarna merah jambu yang memancarkan kasih sayang . Merah jambu itu hanya terpancar kepada Putra seorang. Hanya Yunita yang mengerti merah jambu itu. Merah jambu yang bernama c-i-n-t-a. Cinta.
Ya, hanya Yunita yang mengetahui. Ifa dan Yunita telah menjalin persahabatan sejak mereka berusia 7 tahun, yang berarti 9 tahun yang lalu. Rumah mereka cukup dekat hanya berjarak 5 rumah tetangga. Mereka satu sekolah saat SD dan SMP. Karena sudah bertahun-tahun bersahabat, Yunita bisa membaca gerak-gerik Ifa yang akhir-akhir ini selalu bertengkar dengan Putra namun tatapan matanya yang terlihat janggal . Saat Yunita menanyakan Ifa apakah ada suatu merah jambu kepada Putra dua bulan yang lalu, Ifa mengangguk dan tersenyum.
***
“Karena semua sudah berkumpul, berangkat yuk!” ajak Yunita.
Ifa, Yunita, Putra, dan teman-teman sekelas Yunita memasuki bus Transjakarta tujuan Kota dari shelter Ragunan. Pendingin ruangan tidak berarti karena bus yang penuh sesak. Ifa terpaksa berdiri di dekat pintu. Roda bus mulai bergelinding menelusuri jalur bus way. Besi beroda empat maupun dua mengantri di jalan raya, sama sesaknya dengan keadaan bus. Diluar dugaan, terjadi kemacetan yang cukup parah sepanjang jalan Mampang Prapatan. Ifa mengambil headset dari dalam tas rajutnya lalu mendengarkan lagu-lagu yang ada di playlist MP3 miliknya sembari memandang langit yang kebiruan dipancari bola gas oranye yang cukup terik, berharap semoga keadaan tidak makin memburuk, tidak seburuk yang ia khayalkan.
***
Tibalah mereka di halte Kota. Mereka lalu melangkah menuju kawasan yang sering disebut Kota Tua. Tiba-tiba, ifa merasakan ada yang menarik tangannya secara paksa. Telah terbenak untuk berteriak ‘tolong ada maling ada penculik . tolong tolong!!!’ namun untungnya belum terucap ketika ia mengengok siapa dalang dibalik semua ini, dan ternyata Putra yang melakukannya. Karena kaget, secara spontan Ifa meloncat dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Putra. Namun Putra mengelak dan membuat mereka semakin jauh terpisah jauh dari rombongan.
“Mau kemana kita? Bisa nggak lepasin tangan gue? Lepasiiin!!” kata Ifa.
“Udah deh nggak usah cerewet. Ada yang ingin gue omongin ke lo. Penting,” kata Putra.
Deg. Apa yang ingin Putra omongin? jangan-jangan dia mau nembak gue, waaa… kata Ifa dalam hati dan setengah berharap. Putra memandang sekitarnya, memastikan mereka sudah tidak melihat rombongan. Lalu mereka berhenti melangkah.
“Ada yang mau gue omongin, Fa. Duduk aja yuk,” kata Putera.
“Apa?” kata Ifa, penasaran.
“Begini…gue dan yang lain mau ngasih surprise ke Yunita. Nah, karena Cuma lo yang belum tau tentang semua ini, makanya gue ajak lo kesini,” kata Putra.
“Oh.. Surprise yang kayak gimana , Put?” tanya Ifa.
“Kalo nanti gue kasih tanda tepuk tangan 3 kali, kita nyanyi lagu “happy birthday” . Kue ulang tahun ada di Manda. Nanti kita bakal bikin pesta kecil-kecilan deh hehe. Untuk rinciannya, lo tanya yang lain ya,” kata Putra.
“Oke deh itu bisa diatur,” kata Ifa.
“Yaudah, sekarang balik ke rombongan yuk. Hmm..tapi lewat mana ya?” kata Putra.
“Jangan bilang lo nggak tau daerah sini,” kata Ifa.
“Memang nggak,” kata Putra.
“Jangan bilang kita tersesat,” kata Ifa.
“Kayaknya sih gitu Fa,” kata Putra.
“PUTRAAA!!!” kata Ifa dengan jengkel.
“Haha bercanda kok,” kata Putra.
***
Di lain sisi , Yunita dan rombongan sedang berada di depan museum wayang . Mereka sedang asyik mengabadikan kebahagiaan mereka siang menjelang sore ini.
“Oh iya, perasaan ada yang kurang deh. Hmm Putra dan Ifa mana? Jangan-jangan mereka tersesat. Duh, kenapa gue baru sadar sekarang?! Ada yang tau dimana mereka?” kata Yunita dengan nada panik.
“Putra dan Ifa? Ah, palingan bentar lagi nyampe. Nyantai aja Ta, jangan dibuat pusing. Gue yakin mereka baik-baik aja kok,” kata Rico mencoba menenangkan Yunita.
“Iya, semoga…” kata Yunita.
Beberapa menit kemudian, Ifa dan Putra akhirnya bergabung lagi dengan rombongan mereka.
“Hey kalian darimana aja?! Bikin gue panik tau nggak sih?” kata Yunita
“Ada deh, mau tau aja. Ya pokoknya kita have fun deh tadi, iya kan Fa?” kata Putra.
“Banget,” kata Ifa sambil tersenyum.
“Tuh kan, apa gue bilang. Mereka baik-baik aja kan? Hahaha,” kata Rico.
“Iya deh gue nyerah. Sekarang kita lanjut tur kawan-kawan!” kata Yunita.
Awalnya Yunita merasa heran karena Ifa dan Putra berbalik 180 derajat. Sekarang menjadi seperti tikus dengan tikus ,tidak seperti biasanya. Tak ada aura merah membara arena matador lagi. Di mata mereka berdua hanya merah jambu yang terlihat. Kemana merah itu hilang? Bisakah berbalik dalam waktu sekejap? Ah, Yunita semakin bingung. Yunita tidak berkomentar apa-apa ketika melihat Ifa dan Putra asyik mengobrol berdua sepanjang tur mereka di Kota Tua. Rasa violet itu membumbung tinggi . Rasa seorang anak TK yang melihat boneka limited edition yang diidam-idamkan sejak lama di toko boneka berhasil dibeli temannya sendiri padahal ia telah membujuk mamanya namun sia-sia .
Rasa violet itu bernama c-e-m-b-u-r-u. Cemburu. Memang ia tidak pernah menceritakan kepada Ifa kalau sebenarnya ia juga…
***
“Yunita, gue dan Linda kesana dulu ya,” kata Manda.
“Oke. Kita istirahat dulu yuk. Capek nih. Butuh minum,” kata Yunita sambil menuju warung di ujung Kota Tua.
“Sip deh,” kata yang lain serempak.
Selagi Yunita masih menuju warung yang cukup jauh, mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu untuk menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk Yunita. Manda dan Linda sibuk menyiapkan kue blackforest lengkap dengan lilin berbentuk badut yang membentuk angka 16. Putra menyusun kado-kado yang dibawa mereka menjadi tertata rapi. Rico dan Ito menyiapkan balon-balon yang berwarna-warni. Ifa menata piring-piring kue dari kertas keemasan yang mengkilap.
Setelah semuanya siap, mereka berdiri sebaris memegang confetti sambil menunggu kedatangan Yunita. Beberapa saat kemudian, Putra menepukkan tangannya 3 kali. Confetti ditembakkan di udara. Pita-pita cerah meliuk-liuk indah menuju ke darat.
“Happy birthday Yunita, Happy birthday Yunita…” ucap mereka serempak disertai tawa riang.
“Makasih banyak ya teman-teman. Terharu gue,” kata Yunita dengan mata berkaca-kaca.
Manda dan Linda membawakan kue blackforest tepat di depan Yunita, dan semuanya serentak menyanyikan lagu ‘tiup lilin’.
“Tiup lilinnya tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga…” kata mereka serempak.
Yunita memejamkan matanya , make a wish lalu meniup lilin hingga kobaran api lilin sirna. Tiba-tiba, sudah ada sosok Putra di depannya membawa setangkai bunga mawar merah. Putra lalu membisikkan sesuatu ke telinga Yunita. Keadaan menjadi ramai.
“Terima, terima, terima, terima!!” kata teman-teman sekelas Yunita.
Yunita mematung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Lalu bibirnya membentuk suatu senyuman manis lalu tangannya menerima mawar yang diberikan Putra.
“Iya,” kata Yunita.
Seketika Manda, Linda, Rico, Ito, Kirana, Dewi, Jos, dan Opi mengepung Yunita dan Putra. Terdengar sorak sorai dari mereka, satu per satu mengucapkan selamat kepada Putra dan yunita atas ‘hari jadi’ mereka. Hanya Ifa yang tidak merasakan kebahagiaan sedikit pun. Ia tidak tahan lagi. Ifa berlari seperti atletik estafet menuju sudut kota tua yang sepi, sunyi, dan teduh. Air matanya mengalir deras membasahi
wajahnya, matanya sembab. Tangis Ifa pecah. Ia mencoba menenangkan diri. Diambilnya handphone dari kantong kemeja berwarna hiijau daun itu, lalu ia mulai berkutat mengetikkan sesuatu sembari tangan kirinya mengusap air mata yang terus menetes.
***
Drrrt drrrt drrrt. Handphone Yunita bergetar. Ternyata ada pesan singkat yang dikirim oleh nomor yang ia tidak kenali. Yunita bergegas membacanya.
Dari : +62857******** Gue tau kok lo idola para cowok sedari dulu. Tapi ya nggak usah MT-in sahabat sendiri bisa kali. Ini yang ketiga kalinya!! Cukup tau gue sifat lo yang sebenarnya. LANGGENG YA SAMA PUTRA. Jangan temui gue lagi. Thanks. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar